Senin, 30 Mei 2016

Pernahkah Kita Sadar “?”


Saya mencoba menulis sesuatu yang sudah kita alami bersama. Akan tetapi, mungkin kamu yang belum mengalami bisa lebih waspada dan siap menghadapi ini! Saya hanya ingin kita semua sadar, "Apa sebenarnya telah terjadi dalam kehidupan ini?"
Kamu pernah tertawa, sedih, marah, benci, kecewa, dan merasakan kebahagiaan. Semua orang mengalami ini. Pernahkah kalian berpikir bahwa itu terjadi karena orang lain? Coba kamu bayangkan ketika kamu hidup sendiri di dunia ini; tidak ada yang membuat kita tertawa, tidak ada yang membuat kita sedih, tidak ada yang bisa membuat kita marah, benci, iri, kecewa, dan juga sebaliknya tidak ada yang membuat kita bahagia! Cobalah lihat dirimu saat berada dalam satu keluarga! Jelas sekali semua terjadi karena ada suatu interaksi hubungan. Pada intinya, kita tidak bisa terlepas dari orang lain, walaupun kita berbeda dari fisik, karakter, dan keadaan, tetapi tanpa mereka kita tidak akan bisa. Contoh yang lebih luas, "Bisakah kita berdagang tanpa ada pembeli!? Bisakah kamu jadi persiden jika tidak ada rakyat?"
Saya yakin kamu pernah bermimpi buruk dan indah. Setelah bermimpi di pagi hari, kamu akan terbangun. Saya juga mengalami ini. Ada beberapa mimpi yang kadang kita ingat dan ada juga yang terlupakan atau berlalu begitu saja.
Kalau melihat kembali diri kita, "Apakah masa kecil dan sesuatu yang sudah kamu lalui masa kecil semuanya kamu ingat?" Saya yakin tidak, hanya sesuatu yang menyentuh emosi dan kamu anggap sesuatu yang luar biasa bisa diingat. Begitu juga dengan hidup kita, berlalu begitu saja dan tidak ada yang abadi. Pernah kalian berpikir hidup kita diatur oleh waktu? Waktulah yang menjadi tolak ukur usaha dan batasan hidup kita. Di dunia ini tidak ada yang abadi dan semuanya akan musnah. Ketika terlahir kembali, kita seperti bermimpi. Semua akan berlalu begitu saja. Jika kamu perhatikan seorang bayi yang lahir,  70 tahun kemudian bayi itu akan mati begitu saja.
          Saya menjadi ingat masa sekolah dulu, sebenarnya awalnya sekali tidak tahu sekolah itu untuk apa. Hal itu menandakan tidak ada kemauan untuk sekolah. Karena suruhan dan ikut-ikutan, saya jadi tahu sekolah. Ini sangat lama sekali berlalu bahkan sampai SMA, saya tidak pernah menanyakan itu untuk apa. Dalam belajarpun, saya harus patuh pada suruhan guru seperti membuat PR maupun TUGAS. Kalau dipikir-pikir kembali, saya melakukan itu agar tidak dimarahi oleh guru atau hanya ingin mendapat nilai yang besar. Apa itu kesadaran kita? Bahkan, saya akan melakukan apa saja seperti nyontek, Tanya teman, atau menjatuhkan teman. Di rumahpun begitu, kata suruhan itu selalu menjadi alat gerak untuk berbuat. Disuruh nyapu, nyabit dan lainnya. Pernahkah kita berfikir untuk melakukan sesuatu dari niat dan kesadaran sendiri? Coba kamu dengarkan dan renungkan kutipan kata-kata ini, “Kita sebenarnya sering berbuat berlawanan dari hati kita, tidak ada kejujuran. Semuanya hanya sebuah kepura-puraan/sandiwara."
          Sebenarnya bumi adalah batasan tempat kita hidup. Di bumi manusia berbuat, berprilaku, dan melakukan hubungan. Tanpa sadar, kita sudah disediakan segalanya yang menjadi kebutuahan dan keinginan kita. Kita harus sadar bahwa kita menjadi salah satu objek/benda dibumi. Akan tetapi, sayang itu diluar pemikiran kita. Jika mencoba berpikir, sebenarnya kita sudah terperangkap seperti ikan yang terpancing. Kemudian, akhirnya kita akan tertangkap sengsara dan terpuruk dalam kematian. Seandainya saja kita bisa mengendalikan diri dan bisa memanfaatkan yang ada dibumi dengan baik, itu tidak akan terjadi. Kita semua sudah diberikan kesempatan untuk bisa memanfaatkan dan mencapai harapan kita bersama. oleh sebab itu, lakukanlah secepatnya semasih ada waktu!
          Sebenarnya kita sudah sangat bersyukur karena semua sudah tersedia. Tanpa disadari, sebenarnya dari baru lahir kita sudah mendapat pelayanan hidup, yakni orang tua yang mengasuh kita, guru yang megajar, teman yang mengigatkan, dan lingkungan memberikan kebutuhan kita. Semua orang dari lahir mengalami ini. Seiring waktu dan umur kita, kejadian ini akan bergilir ganti. Kita tidak terlepas dari hubungan sosial. Lihatlah dirimu, "Bisakah kamu sekolah tanpa orang tuamu?" Sebaliknya, nanti juga kamu akan menjadi orang tua. Seharusnya bukan hanya orang tua selalu memberikan yang terbaik buat anaknya, tetapi kita semua sebagai manusia harus saling melayani. Sebab, pada dasarnya kebutuhan dan harapan kita adalah sama. Alangkah bahagianya hidup ini jika kita saling melayani, mengerti, dan saling bahu membahu. oleh sebab itu, Kemiskinan dan kecemburuan sosial akan musnah.
          Saya punya pertanyaan yang unik, "Pernahkah kita terbangun jika kita tidak tidur!?" Begitu di sekolah, "Bisakah kamu juara satu jika tidak pernah belajar?" Kadang kita mengharapakan sesuatu yang kita inginkan tanpa harus melakukan sesuatu. SEMUA ORANG MAU GRATIS, LALU SIAPA MAU DI RUGIKAN? Sangat tidak wajar/tidak masuk akal ini bisa terjadi. Sebenarnya kebutuhan, harapan, dan masa depan kita, siapa yang menentukan? “ hanya diri kita, bukan orang lain.’’ Kalian jagan heran, "Kenapa orang itu bisa sukses?" Kesadaran, niat, dan usahanyalah yang mewujudkan kesuksesan itu!. Sebenarnya hidup ini tidak hanya perlu pintar tetapi "SADAR, NIAT DAN DIBARENGI DENGAN USAHA” semuanya bisa kita raih!
 Sebenarnya, benar sekali hidup adalah sebuah pilihan tetapi pilihan itu ditentukan oleh kita sendiri? Kapan dan bagaimana cara kita? Semua orang takut sekali menderita, tetapi harus kalian ingat penderitan dan kebahagiaan ada batasnya. Ini selalu bergulir seiring dengan waktu dan keduanya punya takaran yang sama. Jangan terlalu meyalahkan nasib. Inilah pilihan sebagai manusia, "Mau sengsara dulu atau kenikmatan dulu?" Kita tidak terlepas dari pilihan ini.
Semua uraian di atas adalah refleksi hidup saya. Hampir semuanya sudah saya alami. Akan tetapi, ini adalah peringatan buat kita semua Karena saya yakin apa yang saya alami adalah bagian kamu juga.


Made Suranata

Sabtu, 21 Mei 2016

Domba Nyonya M’Akuba (Mrs. M’Akuba’s Sheep)

Sebuah cerita dari Afrika, India Barat, dan Karibia

Anansi, Tuan Laba-laba sudah menikah dengan Nona M’Akuba. Mereka memiliki sebelas anak.
Sudah sangat lama Anansi sangat menjengkelkan. Setiap hari, lagi dan lagi dan apakah kamu tahu kenapa? Seperti yang kamu tahu, Anansi sangatlah rakus dan suka banyak makan dan minum. Sekarang M’Akuba memiliki seekor domba yang ia besarkan sendiri sejak domba itu masih kecil. Dia sangat mencintai dombanya dan setiap kali Anansi mulai bicara tentang memakan domba itu, dia menjadi sangat marah. “Jangan menyentuh dombaku!”, dia berteriak dan pergi ke dapur untuk mencuci piring.
“Bagaimana aku bisa makan domba gendut yang lezat ini,” pikir Anansi. Tiba-tiba dia mendapat sebuah ide. Dan suatu hari ketika dia harus keluar rumah untuk kencing dia berpura-pura bangun dari tempat tidur gantungnya dan jatuh di lantai. “Aduh.. Aduh..,” dia berteriak, mencoba untuk bangun lagi.
“Anansi, Ayah, apa yang terjadi,” tanya istri dan anaknya.
“Aduh, aduh, aku tidak bisa berjalan lagi, tolong, angkat aku ke kamar kecil.” Ketika mereka telah mengangkat Anansi kembali ke tempat tidur gantungnya, dia mulai gemetar seolah–olah terkena demam. Nyonya M’Akuba membuatkannya bubur manis dan sup ayam lezat tapi Anansi tetap gemetar dan merintih bahwa dia sangat sakit.
“Sekarang cukup, Aku akan memanggil dokter!” kata M’Akuba.
“Tidak, tidak, jangan dokter, dia hanya akan memberiku pil yang sangat mahal, kamu lebih baik pergi ke dukun, yang tinggal di bawah pohon besar di hutan. Tapi ingat berpakaianlah dengan baik dan bawa cukup uang, dia akan minta tiga uang dua puluh lima sen,tiga keping sepuluh sen, dan tiga sen. Dan bawa anak-anak bersamamu, aku terlalu sakit untuk menjaga mereka.” Itulah yang dikatakan Anansi kepada keluarganya tentang apa yang harus dilakukan.
Segera setelah mereka berangkat, dia melompat dari tempat tidur gantungnya dan berlari secepat mungkin ke pohon besar di hutan. Di sana dia bersembunyi di bawah sebuah gundukan besar dedaunan. Tak lama setelah itu keluarganya tiba dan mereka mendengar suara, “tolong letakan uang dekat gundukan dedaunan. Kamu tidak bisa melihatku tapi jika kamu mengatakan masalahnya padaku, aku akan mengerti jika aku bisa menolongmu.”
Nyonya M’Akuba menceritakan tentang penyakit Anansi dan meminta pertolongan.
“Hmmm, biarkan aku berpikir sejenak, aku pikir aku tahu apa masalahnya, suamimu yang malang sedang sakit karena sangat ingin makan daging domba, jadi akan lebih baik jika kamu bisa membelikannya dengan segera, jika kamu tidak bisa aku harus berpikir lagi untuk beberapa hari.”
“Oh, tidak, kamu tidak harus berpikir selama itu, suamiku yang malang mungkin akan mati. Aku akan membawakannya daging domba, terima kasih banyak yang terhormat pak dukun.” Nyonya M’Akuba pulang bersama anak-anaknya. Dia tidak bisa pergi dengan sangat cepat dengan sebelas anak-anaknya, seperti yang kamu bayangkan. Anansi dengan cepat keluar dari tumpukan daun, mengambil uang dan berlari pulang, tepat waktu berbaring menggigil dalam tempat tidur gantungnya lagi ketika keluarganya tiba.
Nyonya M’Akuba menyembelih domba kesayangannya dan Anansi makan domba seminggu penuh sebelum dia mengumumkan bahwa dirinya sembuh. Anak-anaknya senang mereka tidak harus mengankatnya keluar rumah lagi. Tapi M’Akuba yang malang masih sedikit menangis setiap dia melewati kandang di mana dombanya biasa tidur.

A story from Africa, West India, and Caribbean

Anansi, mister Spider was married to Miss M’Akuba. They had eleven children.
Already a long time Anansi was very irritated. Every day again and do you know why? As you know, Anansi is very greedy and likes to eat and drink a lot.  Now M’Akuba had a sheep that she raised herself from the day it was a little lamb. She loved her sheep very much and every time Anansi started talking about eating it, she became very angry. “Don’t you touch my sheep!!” she shouted and went to the kitchen to wash the dishes.
“How can I get to eat this nice, fat sheep,” Anansi thought. Suddenly he got an idea. And one day when he had to go to the “outhouse” to pee he pretended to get up from his hammock and let himself fall on the floor. “Auw, auw,” he cried, trying to get up again.
“Anansi, father, what is the matter” asked his wife and children.
”Auw, auw, my legs won’t carry me anymore, please, carry me to the toilet.” When they had carried Anansi back to his hammock, he started shivering as if he had a fever. Mrs. M’Akuba made him sweet porridge and delicious chicken soup but Anansi kept on shivering and crying that he was very, very ill.
“Now it is enough, I’m going to call the doctor!” M’Akuba said.
“No, no, not the doctor, he will only give me very expensive pills, you better go to the witch-doctor, who lives under the big tree in the forest. But remember to dress properly and take some money, he will want three quarters, three ten cent pieces, and three cents. And take the children with you, I’m too sick to look after them.” That was what Anansi told his family to do.
As soon as they left, he jumped out of his hammock and ran as fast as he could to the big tree in the forest. There he hid under a big pile of leaves. Not long after, his family arrived and they heard a voice saying, “please put the money by the pile of leaves. You can’t see me but if you tell me your problem I shall see if I can help you.”
Mrs. M’Akuba told the voice about Anansi’s illness and asked for help.
“Hmmm, let me think a minute, I think I know what the problem is, your poor husband is sick for longing to eat sheep meat,  so if you can buy him some he will be better soon, If you can’t I have to think again for some days.”
“Oh, no, you don’t have to think that long, my poor husband may be dead by then. I’ll get him sheep meat, thank you very much honoured witch-doctor.”  Mrs. M’Akuba went home again with her children. She couldn’t go very fast with eleven children, as you can imagine. Anansi quickly came out of the leaf-pile, took the money and ran home, just in time to lie shivering in his hammock again when his family arrived.
Mrs. M’Akuba slaughtered her beloved sheep and Anansi ate sheep for a whole week before he declared himself cured again. The children were happy they didn’t have to carry him to the outhouse any more. But poor M’Akuba is still crying a bit every time she passes the shed where her sheep used to sleep.
 Ibu Marga & Pande Nyoman Astawa

Anansi dan Kura-kura (Anansi and the Turtle)

Sebuah cerita dari Afrika, India Barat dan Karibia

Suatu hari, baru setelah Anansi memanggang beberapa ubi rambat besar dan gurih, Si Kura-kura datang ke rumahnya. Kura-kura lelah dan lapar dan meminta sedikit makanan kepada Anansi. Tapi Anansi tidak mau membagi makanannya dan meminta Si Kura-kura pergi ke sungai terlebih dahulu untuk mencuci tangannya yang kotor. Setiap kali kura-kura kembali dari sungai, tangannya kotor lagi dari perjalanan.
Pada kali ketiga, dia berjalan dengan hati-hati di atas rumput dan kembali dengan tangan yang bersih. Saat itu juga, Anansi makan semua ubi-ubi yang lezat itu. Dan kasian, kura-kura yang lapar pulang dengan lambat. Tapi sebelum itu dia mengundang Anansi datang dan makan malam di rumahnya suatu hari.

Ketika si cerdik Anansi datang ke rumah Kura-kura, dan Si Kura-kura berkata, “Silakan masuk, makan malam siap. Di sini di dalam rumahku di dasar sungai” dan dia menyelam ke dalam air dingin. Ketika Anansi mencoba mengikuti, dia tidak bisa melakukannya. Laba-laba terlalu ringan. Kemudian dia mendapatkan ide pintar. Dia menaruh banyak batu besar di kantung-kantung jaketnya. Dan kemudian dia tiba di pintu rumah kura-kura dan pergi ke ruang makan. Dia duduk dan ingin mulai makan dengan segera, tapi kura-kura berkata, “Di tempat saya sangat tidak sopan tetap memakai jaket di meja.” Anansi melihat Si Kura-kura telah mengambil jaket bagusnya. Segera setelah Anansi melepaskan jaket beratnya, ‘plop’ dia langsung meluncur ke permukaan sungai. Dia berlari pulang dengan cepat, tahu bahwa saat itu dirinya telah ditipu.

A story from Africa, West India, and Caribbean

One day, after Anansi just baked some fat, tasty yams, Turtle came to his house. Turtle was tired and hungry and asked Anansi for some food. But Anansi did not want to share his food and  told Turtle to go to the river first to wash his dirty hands. Every time Turtle came back from the river, his hands were dirty again from walking.
The 3th time he walked carefully on the grass and came back with clean hands. In the mean time, Anansi ate all the delicious yams. And poor, hungry Turtle went slowly home. But before that he invited Anansi to come and have dinner at his house one day.
When wily Anansi came to Turtles house, Turtle said, “please, come in, dinner is ready. It is in my house at the river bottom” and he dived into the cool water. When Anansi tried to follow, he could not do it. Spiders are too light. Then he got a clever idea. He put many big stones in the pockets of his jacket. And so he arrived at Turtles door and went into the diningroom. He sat down and wanted to start eating immediatly, but Turtle said, “In my country it is very rude to keep your jacket on at the table.” Anansi saw that Turtle had taken of his nice jacket too. As soon as Anansi took off his heavy jacket, ‘plop’ he went straight up to the surface of the river. He ran home quickly, knowing that  this time, he himself had been tricked.

Ibu Marga & Pande Nyoman Astawa

Anansi Si Penipu (Anansi The Trickster)

Sebuah cerita dari Afrika, India Barat dan Karibia

Anansi, laba-laba penipu, hidup di sebuah desa di mana kelaparan dan kekeringan melanda tempat itu, dan Anansi harus menemukan sebuah cara untuk bertahan. Di desa yang sama adalah seorang penyihir yang bernama ‘Lima’. Dia membenci namanya dan mengucapkan sebuah mantra sehingga jika seseorang menggunakan atau menyebut namanya mereka akan tertidur selama setahun. Anansi berkata, “Aha! Aku akan menipu seseorang agar menyebut namanya dan aku akan punya makanan untuk keluargaku.” Dia telah menyimpan sedikit jagung dan membuat lima tumpukan darinya. Dia duduk di atas satu tumpukan dan memanggil Nyonya Kelinci, “Hai, Nyonya Kelinci! Apakah kamu mau jagung untuk anak-anakmu?”
“Tentu saja,” Nyonya Kelinci mendekat.
Anansi mengatakan padanya, “Jika kamu mengatakan padaku berapa jumlah tumpukan jagung ini, aku akan memberimu satu dari semua tumpukan!”
Nyonya Kelinci menghitung, “Satu-dua-tiga-empat-lima.” Ketika dia mengucapkan nama sang penyihir dia langsung tertidur. Anansi membawa si kelinci pulang, dan istrinya memasaknya.
Mereka memiliki makanan selama berminggu-minggu. Tapi ketika makanan habis, Anansi memutuskan untuk melakukan tipuannya lagi. Kali ini dia memilih Tuan Tupai. Tuan Tupai menghitung tumpukan-tumpukan itu dan dia tertidur seperti Nyonya Kelinci. Anansi membawa tupai itu pulang dan keluarganya memiliki makanan berminggu-minggu.
Segera makanan habis lagi. Kali ini dia memusatkan pandangannya pada Nyonya Angsa. Tetapi Nyonya Angsa tahu Anansi adalah seorang penipu dan tidak bisa dipercaya. Duduk di atas tumpukan jagungnya, Anansi meminta Nyonya Angsa menghitung tumpukan-tumpukan itu untuk bisa memilikinnya. Nyonya Angsa tersenyum dan menghitung, “Satu-dua-tiga-empat… dan yang satunya sedang kamu duduki!”
Anansi marah dan berkata, “TIDAK! TIDAK! bukan begitu caranya menghitung! Lakukan dengan benar!”
Nyonya Angsa tersenyum dan menghitung, “Satu-dua-tiga-empat… dan yang satunya sedang kamu duduki!!”
Anansi begitu marah dia melompat-lompat dan berteriak, “TIDAK! TIDAK! Bukan begitu caranya menghitung!! Seharusnya kamu berkata satu-dua-tiga-empat-lima!” Segera setelah dia menyebut nama sang penyihir dia langsung tidur. Tidak hanya nyonya angsa yang telah menipu si penipu, Nyonya Angsa punya... berapa jumlah tumpukan jagungnya tadi??

A story from Africa, West India, and Caribbean

Anansi, the trickster spider, lived in a village where famine and drought were all over the land, and Anansi had to figure out a way to survive. In the same village there was a witch named ‘Five’. She hated her name and cast a spell so that if anyone used her name they would fall asleep for a year. Anansi said, "AHA! I will trick someone into saying her name and I'll have food for my family.” He had saved a little bit of corn and made five piles out of it. He sat on one pile and called Mrs. Rabbit, "Hey, Mrs. Rabbit! Would you like some corn for your children?"
“Of course,” Mrs. Rabbit came running.
Anansi told her, “If you tell me how many piles of corn there are then I'll let you have one of them!"
Mrs. Rabbit counted, "One-Two-Three-Four-Five." When she said the witch's name she fell asleep. Anansi took the rabbit home to his wife, who cooked it.
They had food for weeks. But as the food was running out, Anansi decided to try his trick again. This time he chose Mr. Squirrel. Mr. Squirrel counted the piles and he fell asleep just like Mrs. Rabbit. Anansi took the squirrel home and his family had food for weeks.
Soon the food was running out again. This time he set his sights on Mrs. Goose. Now Mrs. Goose knew Anansi was a trickster and not to be trusted. Sitting on his pile of corn, Anansi told Mrs. Goose to count the piles and she could have them. Mrs. Goose smiled and counted, "One-Two-Three-Four....and the one you’re sitting on!!"
Anansi got angry and said, "NO!NO! That's no the way to count! Do it right!"
Mrs. Goose smiled and counted, "One-Two-Three-Four...and the one you are sitting on!!"
Anansi was so angry he jumped up and down shouting,"NO! NO! That's not the way to count!! You are supposed to say one-two-three-four-five!" As soon as he said the witch's name he fell asleep. Not only had Mrs. Goose tricked the trickster, she had......how many piles of corn?? 
Ibu Marga & Pande Nyoman Astawa

Di Manakah Keluarga Saya?













Oleh: Juliasih

Mencuri Kisah Karakter Para Manusia Luar Biasa

Judul Buku    : Karakter-karakter yang Menggugah Dunia (Character is Destiny)
Pengarang     : John McCain & Mark Salter
Penerbit       : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit  : 2009
Tebal Buku    : 435 halaman
Dunia ini dipenuhi banyak orang terkenal. Ada yang terkenal karena kehebatannya, kegilaannya, kejeniusannya, bahkan ada pula karena kekejamannya. Tentu saja, tidak semuanya memiliki karakter yang istimewa yang mampu menggugah dunia.
Membicarakan soal karakter seseorang sebenarnya membicarakan sikap, prinsip dan idealismenya. Semua orang memiliki karakter. Namun, hanya segelintir saja yang mempunyai karakter yang kuat dan mengagumkan. Orang-orang itulah yang dikisahkan dalam buku yang berjudul “Karakter-karakter yang Menggugah Dunia” karya John McCain bersama Mark Salter ini.
Semua kisah dalam buku ini merupakan kisah orang-orang luar biasa yang telah memilih dengan baik. Sebagian di antara mereka berkarakter luar biasa dan istimewa. Mereka semua tentu mempunyai kekurangan. Setiap orang mempunyai kekurangan. Namun, di tangan mereka, kekurangan itu adalah anugerah untuknya berdiri, menentang, melangkah dan berjuang sampai akhir.
Ada 34 tokoh yang dikisahkan dalam buku ini. Itu hanya sebagian kecil dari tokoh-tokoh yang mengambil peran dalam sejarah manusia. Tentu masih banyak tokoh yang tak pernah kita ketahui. Namun, jumlahnya tak akan sampai 1% dari seluruh manusia di bumi ini. Hanya sekian dari triliunan manusia di bumi yang mau dan berani berdiri menentang arah, melangkah sendiri dan bahkan terhempaskan tanpa kawan.
Semua individu yang kisahnya dipilih dalam buku ini punya kualitas istimewa, suatu karakter khas yang menjadikan hidup serta dunia mereka lebih baik. Mereka memilih menjalani hidup dengan cara yang kita kagumi karena mereka percaya bahwa prinsip tersebut merupakan harta milik yang terpenting. Bukan penampilan, kemampuan/bakat, kenyamanan, pekerjaan, jabatan, atau penghasilan yang menegakkan mereka. Namun, kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain serta pilihan merekalah tiangnya.
Banyak dari mereka bukan orang yang cerdas dan sebagian besar dari mereka berdiri dalam derita dan luka yang menganga hebat. Namun, luka itulah kekuatan, bangkit itulah perjuangan, berdiri sendiri itulah pilihan, melangkah itulah keberanian, dan merangkul itu merupakan kesetiaan. Dalam buku ini, ditekankan bahwa karakter mereka adalah kehormatan, tujuan, kekuatan, pengertian, penilaian, kreativitas dan cinta.
Gandhi menjaga kehormatan tertingginya dengan merangkul penentangnya dan melawan sikap buruk lawannya dengan cinta. Itulah kehormatannya. Itulah prinsipnya. Itu pulalah kelemahannya. Winston Churchill, perdana menteri Inggris yang paling terkenal bertahan melalui semua cobaan dan kemalangan demi rakyatnya. Tujuannya adalah kekuatan yang luar biasa. Di Amerika, Abraham Lincoln adalah presiden AS yang lahir dalam kemiskinan dan ketidakjelasan. Hatinya dibebani kepedihan, kritikan dan kemalangan. Dengan kekuatan mentalnya, ia pantang menyerah hingga mampu menyelamatkan negeri yang dicintainya. Nelson Mandela di lain sisi, merupakan karakter dengan rasa pengertian yang luar biasa. Ia adalah tahanan yang sangat menderita yang mengampuni penahannya dan membantu menyadarkan manusia untuk saling mengerti dan memahami perbedaan. Sejalan dengannya, pastor pemimpin hak sipil yang terkenal di Amerika Serikat, Dr. Martin Luther King, Jr. membawa keadilan sebagai nyala api baginya dalam berjuang menegakkan penilaian manusia yang pincang dari kesetaraan hak-hak minoritas. Suratnya yang ia tulis ketika di sel menjadi salah satu dokumen paling terkenal dalam sejarah Amerika Serikat yang menghimbau negaranya untuk memperjuangkan keadilan.
Karakter yang istimewa tidak semata-mata terbatas pada mereka yang berjuang pada mereka yang tertindas atau mengalami tekanan dan keadaan yang melemahkan. Dalam buku ini, tokoh-tokoh yang memiliki kreativitas juga layak menjadi panutan. Leonardo Da Vinci salah satunya. Kejelian dan ketajaman matanya tak tertandingi hingga abad yang sekarang. Ia adalah ilmuwan yang menciptakan karya-karya agung dan menakjubkan sebagai bagian dari ambisi besarnya untuk menyaksikan semua yang dapat diamati di alam. Ketelitian pengamatannya pada alam mampu menghasilkan karya seni dan teknologi juga ilmu pengetahuan yang tak akan pernah pudar di makan zaman.
Di lain sisi dan zaman, Bunda Teresa berdiri di atas kemanusiaan, cinta dan kasih sayang yang paling dalam. Ia adalah biarawati yang memilih hidup di tengah penderitaan, penyakit dan keputusasaan menjalani kesulitan dan pekerjaan tanpa henti. Mungkin ia menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini karena cinta tanpa pamrih kepada setiap orang.
Beberapa tokoh di atas hanya sebagian dari tokoh-tokoh yang menjadi kisah dalam buku ini. Mereka semua menakjubkan, baik karena pilihan, tekanan, perjuangan maupun kejelian serta hati. Prinsip mereka adalah kekuatan. Idealisme mereka adalah pelindung. Sikap mereka adalah senjata. Keadaan dan tekanan hidup mereka merupakan panggung pertunjukkan. Pada akhirnya, perjuangan dan pencapaian mereka adalah prasasti yang tak pernah pudar oleh waktu. Yang pasti, mereka adalah manusia-manusia yang masih berdiri tegak di titik terlemah hidup.
Bagi kita, pencapaian sejauh itu tentu muluk-muluk. Namun, kepedulian mereka layak kita tiru sebagai guru. Perjuangan mereka pantas kita tapaki sebagai setapak kita. Banyak ruang dalam hidup kita yang pantas kita perjuangkan. Banyak pula lahan dalam lingkungan kita yang layak mendapatkan kepedulian kita. Walaupun tidak segagah langkah mereka, yang pasti kita melangkah pasti. Entah itu kreativitas, kepedulian sosial, sikap kritis maupun perjuangan demi dunia yang lebih baik, kita sebagai pemuda yang sadar pantas menaruh sikap. Jadi, karakter seperti apakah dirimu? Kearah manakah pilihanmu?


Angga Nantha Wijaya

Di Antara Malaikat dan Iblis Di Antara Ilmu Pengetahuan dan Agama

Judul                    : Angels and Demons
Terjemahan             : Malaikat dan Iblis 
Pengarang               : Dan Brown
Penerjemah             :  Isma B.Koesalamwardi
Penerbit                : Serambi
Tebal                    : 656 halaman
Diterbitkan pertama kali      : Februari 2005
Buku Malaikat dan Iblis adalah sebuah adonan lengkap dari bahan sains, sejarah, agama, filosofi, seni dan budaya yang diolah ke dalam Loyang fiksi yang memikat. Dan Brown lah ‘master chef’-nya novel ini hingga membuat addicted setiap pembacanya. Bukan sekedar cerita fiksi, ia benar-benar mengolah dengan cerdas dan cermat ceritanya hingga sulit bagi pembaca membedakan mana fakta dan mana fiksi dalam novelnya ini.
Buku ini merupakan petualangan kedua Robert Langdon, sang professor ahli simbologi yang diciptakan Dan Brown. Sebelumnya, The Da Vinci Code berhasil menggemparkan dunia tapi sempat dilarang penerbitannya di Indonesia entah karena apa. Petualangan kedua Langdon ini juga tidak kalah menggemparkan. Sesuai judulnya, ia memikat juga menusuk seperti Malaikat dan Iblis, sebuah dualisme mata pisau atau koin yang selalu memberi sisi dalam segala hal. Mengherankannya lagi, novel yang menghabiskan 656 halaman ini hanya menceritakan satu hari petualangan Langdon di Vattikan. Betapa detail dan serunya petualangan tersebut.
Kali ini, saya ingin menceritakan secara ringkas novel ini karena ceritanyalah kekuatan dari buku ini. Saya ingin membagi keterkesanan dan kekaguman yang saya dapat kepada teman-teman. Semoga memberi hiburan, inspirasi juga filosofi.
Kisahnya berawal dari sang tokoh utama, Robert Langdon mendapat telpon dini hari yang mengganggu tidurnya. Mendadak, ia diminta memecahkan kasus pembunuhan. Benar-benar di luar bidangnya. Namun, ia merasa diikat masuk ke dalam kasus ini ketika sebuah simbol dikirimkan melalui faksimile sebagai barang bukti. Langdon pun tanpa persiapan meluncur ke Swiss tempat pembunuhan terjadi, tepatnya di CERN, sebuah puusat penelitian fisika. Yang terbunuh ternyata seorang ilmuan bernama Leonardo Vetra penemu Anti-Materi, sebuah partikel kasat mata yang juga disebut Partikel Tuhan.
Sesampainya di sana, ia dan kepala CERN benar-benar terkejut melihat cap besi panas yang melekat di dada korban. Itu adalah sebuah simbol kelompok rahasia kuno yang mustahil masih ada sampai sekarang. Namanya illuminati. Permasalahan semakin menjerat ketika mereka juga tahu bahwa tabung Anti-Materi dan isinya hilang. Jika tidak di-charge, kurang dari 24 jam benda itu akan meledak dengan kekuatan melebihi bom atom.
Semua panik, tak terkecuali Langdon. Ketika itu pula, Langdon mendapat telpon langsung dari sang pencuri. Mereka diberitahu bahwa anti-materi itu telah dibawa ke Vatikan. Robert yang cuma ahli simbologi biasa itu pun pergi ke kota suci umat Katolik bersama Vittoria yang tidak lain adalah anak Leonardo, sang ilmuwan.
Kasus ini semakin menemukan titik terang sekaligus titik kelabu saat Langdon dan Vittoria sampai di Vattikan. Belum habis perkara mengenai bom Anti-Materi yang tidak diketahui tersimpan di mana, Kota suci yang sangat kecil itu lagi-lagi mendapat tragedi, Paus mereka meninggal karena struk. Amat mengejutkan mengingat tanpa gejala apa-apa sebelumnya. Saat itu juga, diadakan rapat mendadak. Dipilihlah Camerlengo, anak angkat almarhum menjadi kepala rumah tangga paus hingga Paus yang baru dinobatkannya. Dalam beberapa jam, pemilihan Paus akan diadakan. Sudah ada empat kandidat yang terpilih.
Seakan tidak diberikan bernafas lega, keempat kandidat tadi menghilang secara misterius. Mereka diculik oleh seorang yang menyebut dirinya “Hassassinh”. Ia memberitahu Langdon lewat telpon bahwa dia adalah utusan Janus, sang ketua untuk merayakan kembalinya kekuasaan kelompok Illuminati dan runtuhnya kejayaan Gereja. Hassassinh pun menyampaikan bahwa keempat kandidat itu akan dibunuh di empat gereja illuminati dalam rentang waktu yang berbeda. Langdon dan Vittoria memutar otak memecahkan permasalahan ini. Hanya merekalah harapannya. Hanya Langdon yang seharusnya bisa menguak yang mana gereja illuminati yang akan dijadikan tempat pembunuhan. Ia pun harus berpikir keras gereja yang mana yang harus ia datangi lebih dulu mengingat sekian banyaknya gereja yang ada di Roma.
Satu kandidat mati setiap jam, dari jam 8, 9, 10 dan 11. Kemudian, tabung Anti-Materi itu akan meledak tengah malam. Tidak bisa dibayangkan, seberepa cepat Langdon harus memecahkan kepingan-kepingan simbol untuk mengetahui keempat gereja itu dan tempat Anti-Materi itu tersembunyi.
Setelah sekian jam pencarian, Langdon akhirnya mendapat petunjuk tentang lokasi keempat kandidat yang akan dibunuh setelah menyadari bahwa Galileo Galilei, seorang astronom dan ilmuwan terkemuka yang terkenal dengan kontroversinya pada Gereja, adalah salah satu penggagas kelompok Illuminati. Setelah pergi ke ruang arsip Vatikan, dan membaca Diagramma karya Galileo, ditemukanlah puisi yang menjadi petunjuk Robert dan Vittoria untuk mencegah Hasassins melakukan niat jahatnya. Keduanya harus berpacu dengan waktu, sementara anti-materi yang menjadi masalah utama terus berjalan menuju detik-detik kehancuran Vatikan.
Penyelamatan yang pertama gagal total karena Langdon terlambat memecahkan simbol dan puisi itu. Ia pun harus rela melihat satu kandidat mati setengah terkubur dengan mulut dipenuhi tanah dan dada bercap ambigram Earth (bumi). Penyelamatan yang kedua, Langdon berhasil menemukan tempatnya lebih cepat. Sayang, kerumunan orang ditempat itu mempersulitnya. Alhasil, Kandidat kedua gagal diselamatkan. Ia tergelatak ditengah kerumunan dengan dada yang telah tercap ambigram Air (udara). Begitu juga dengan yang ketiga, Langdon dan pihak berwajib yang membantu lagi-lagi gagal ketika melihat sang kandidat tergantung hidup-hidup di atas api dengan dada yang telah tercap ambigram Fire (api). Sebenarnya, mereka punya kesempatan menyelamatkannya. Akan tetapi, Assassinh menampakan diri dan menggagalkan usaha evakuasi.
Pada penyelamatan yang terakhir, Langdon selangkah lebih cepat karena telah menyadari pola musuhnya. Keempat lokasi pembunuhan ternyata membentuk lambang salib. Langdon pun berhasil menerka lokasi yang terakhir dan berada lebih dulu. Namun, tak terduga, sebuah van berhenti dan melempar satu kandidat ke dalam kolam hidup-hidup dengan tubuh terkunci beserta sebuah pemberat. Dadanya telah tercap ambigram Water (air). Langdon kali ini sendirian menolong sang korban. Tentu ia tidak bisa karena sang kandidat terikat pada benda yang amat berat. Untunglah, pertolongan datang beberapa detik sebelum nyawa kandidat meradang. Itulah satu-satunya kandidat yang berhasil diselamatkan.
Setelah semua usaha penyelamatan yang bisa dibilang hampir gagal itu, Langdon akhirnya menguak markas rahasia Illuminati dan menemukan sang Assassinh di sana. Assassinh memberi klu terakhir untuk menemukan akar dari semua ini. Assassinh sendiri meledak dalam mobil setelah tugas-tugasnya selesai.
Dengan cepat Langdon menuju kembali ke Vattikan karena sadar bahwa Camerlengo, kepala rumah tangga paus mungkin akan menjadi target berikutnya. Ia dan para polisi vattikan pun mendapati Camerlengo telah tercap symbol dua kunci bersilang yang terbalik di dadanya. Langdon dan Camerlengo memecahkan simbol kunci itu sebagai paus pertama, St. Peter yang disalib terbalik. Mereka pun ke gereja St. Peter dan masuk ke bawahnya. Di sanalah Anti-Materi itu disimpan.
Waktu tinggal sedikit, tak ada cara lain selain mengevakuasi setiap orang yang ada di sekitar sana. Tetapi, Camerlengo memilih lain. Ia mengambil tabung itu, berlari melintasi Vatikan dan membawanya terbang menggunakan Helikopter. Langdon tidak membiarkan ia sendirian. Ia pun ikut terbang. Dari sanalah semuanya terkuak ketika Camerlengo memperdebatkan ilmu pengetahuan dan agama dengan Langdon. Ternyata semua adalah rencana Camerlengo, anak angkat paus sendiri. Ia lah yang membunuh ayah angkatnya. Ia lah yang menghidupkan illuminati kembali dengan lambang ambigramnya, pencurian Anti-materi dan scenario pembunuhannya. Ia pula lah yang menyusun rencana penyelamatan dahsyat ini. Semua adalah skenarionya. Langdon sendiri sebetulnya diundang masuk sebagai penerjemah rencananya kepada semua pihak karena ia saja yang paham dengan simbol-simbol kuno seperti illuminati.
Ternyata, semua berawal dari perdebatan Camerlengo dengan ayah angkatnya. Ayah angkatnya amat mendukung ilmu pengetahuan dan berencana menerima penemuan Anti-Materi atau materi Tuhan sebagai sebuah jalan bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak terpisahkan. Camerlengo sangat menentangnya. Ia sama seperti Gereja-gereja di masa lalu yang amat menentang ilmu pengetahuan karena melampaui Tuhan mereka. Apalagi, ia mendengar bahwa ayah angkatnya sangat setuju dengan adanya cloning. Camerlengo tentu meradang. Dari sanalah Camerlengo merencanakan semuanya, membuat sebuah scenario apik agar manusia menyadari kebesaran Tuhan, bukannya ilmu pengetahuan. Ia ingin membuat orang menomorsatukan apa yang telah dipercayai agama dan menomorduakan apa yang telah ditemukan ilmu pengetahuan.
Camerlengo dan Langdon akhirnya menyelamatkan diri masing-masing ketika satu menit sebelum bom meledak. Menurut orang-orang, Benar-benar sebuah perjuangan yang tak sia-sia ketika helicopter itu meledak dahsyat di langit Vatikan. Tidak sampai di sana, semua orang tersentak ketika Camerlengo berhasil selamat turun. Semua pun mulai berdebat. Semua masyarakat memilih Camerlengo sebagai Paus walaupun banyak persyaratan yang tidak mengizinkannya. Para pastor pun mulai berdiskusi dan merasa bahwa Camerlengo adalah kehendak Tuhan dan pilihan Tuhan. Namun, sebelum terlambat, Robert Langdon, sang ahli simbologi berhasil mengungkap semua rencana Camerlengo.
Camerlengo pada akhirnya terkejut sendiri ketika ia diberitahu kenapa ayah angkatnya amat menyetujui penemuan kloning. Ternyata kloning telah membantu sang paus. Sebelum ia dinobatkan, sang Paus sempat memiliki hubungan dengan seorang biarawati. Untuk menjaga agar mereka tidak melanggar ajaran, mereka memutuskan kloning sebagai jalan untuk memiliki anak. Anak hasil kloning itu sendiri tidak lain adalah Camerlengo. Informasi itu membuat Camerlengo merasa bersalah bukan main. Ia pun membakar dirinya.
Akhir novel ini benar-benar mengejutkan dan membuat saya merenung dan terperangah sendiri. Karena itulah saya ingin menceritakannya untuk anda. Betapa terpukaunya saya ketika mengetahui bahwa seorang anak yang dilahirkan dari hasil ilmu pengetahuan (kloning) malah menentang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bukankah kisah novel ini mengajak kita mengingat sejarah gelap agama dan ilmu pengetahuan? Itulah yang ingin direnungkan oleh Dan Brown kepada para pembaca. Ia ingin mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak bisa saling menginjak. Mereka harus berjalan berdampingan. Karena jika mereka berjalan sendiri, kekacauan akan muncul. Lihat saja apa yang terjadi dengan penemuan Anti-Materi dalam novel itu. Jika agama tidak masuk, maka ia akan menjadi sumber malapetaka dunia. Namun, Jika agama kaku dan hanya percaya dengan apa yang telah dipercayai sejak dulu, agama akan lumpuh dan berbalik menyesatkan. Demikianlah, semua harus seimbang. Malaikat dan Iblis harus berimbang karena malaikat adalah kelembutan dan iblis adalah kekuatan, karena malaikat adalah kelemahan dan iblis adalah kekerasan. Camerlengo adalah representasi keduanya. Ia ingin jadi malaikat bagi agama dan melakukannya dengan cara iblis.
Yang menarik dari novel ini tentu adalah semua hal yang disinggung. Semuanya adalah nyata, dan Dan Brown berhasil mengaitkannya menjadi rangkaian cerita yang benar-benar menakjubkan. Penemuan Partikel Anti-Materi baru beberapa tahun yang lalu walaupun bukan dengan nama yang sama. CERN memang benar-benar ada di swiss. Illuminati adalah perkumpulan rahasia yang menentang kekuasaan agama di jerman. Nama lengkapnya adalah Illuminati Bavaria. Galileo seperti yang kita ketahui memang menentang gereja dengan penemuannya. Dalam novel ini, ia dikatakan masuk kelompok illuminati, sebetulnya tidak. Ia hidup jauh lebih awal dari illuminati terbentuk.
Sebagai bahan renungan, saya ingin memberi beberapa kutipan percakapan yang amat penting dalam novel ini untuk direnungkan.
Pertama, datang dari Camerlengo yang berdebat dengan kepala Garda Swiss yang juga berusaha mengungkap kasus itu. Camerlengo berkata, “Jika ilmu pengetahuan mengklaim kekuatan penciptaan sebagai miliknya, apa yang tersisa untuk Tuhan?”
Kedua, datang dari penasihat paus yang berpesan kepada Langdon. Ia berkata, “Agama memiliki kelemahan. Itu karena manusianya memiliki kelemahan.”
Ketiga, saya temukan dari percakapan Langdon. Ia suatu saat ditanya, “Apakah anda mempercayai Tuhan?” Langdon pun menjawab, “Saya berusaha mempercayainya.”
Mudah-mudahan ketiga kutipan dialog itu memberi kita pencerahan tentang kepercayaan kita dan tentang pengetahuan kita. Semua berakar dari kita, lahir dari kita dan tercipta setelah adanya kita.
Sebagai penutup, saya ingin menunjukkan simbol ambigram itu seperti apa. Simbol-simbol memang tidak ada dalam sejarah. Dalam novel ini, simbol-simbol ambigram dibuat oleh seniman tipografi, john Langdon, teman ayah Dan Brown, sang pengarang yang menginspirasi Dan Brown untuk menciptakan tokoh Robert Langdon. Ambigram adalah seni tulisan yang bisa dibaca dari dua sisi (bolak-balik artinya tetap sama). Silakan dibaca tulisan-tulisan di bawah ini dengan posisi tegak dan terbalik! Niscaya, anda akan menemukan kata yang sama.
Oleh: Angga Nantha Wijaya

Kebebasan yang Mahakuasa

Judul Buku         :   Mereka yang Dilumpuhkan (Edisi Baru: Jilid I & II)
Pengarang          :   Pramoedia Ananta Toer
Penerbit            :   Hasta Mitra
Tahun Terbit     :   2002
Jumlah Halaman :   560 Halaman
Penjara, sungguh mengerikannya tempat itu. Kalau engkau binatang dan dikurung di sana untuk pertama kali, engkau akan menumbuki pagar kurunganmu hingga badanmu luka-luka. Setelah engkau kelelahan, engkau pun akhirnya akan terdiam oleh putus asa.
Penjara bisa disamakan dengan hotel. Suatu kali orang datang. Suatu kali orang pergi meninggalkannya. Bedanya, di hotel orang harus membayar, boleh meninggalkannya semau hati. Sebaliknya, di penjara orang tidak membayar dan tidak boleh meninggalkannya semau hati. Kotak kurungan ini telah didatangi, ditinggali dan ditinggalkan oleh berbagai macam orang. Mungkin dia pejuang kemanusiaan yang besar. Mungkin juga dia pendekar politik yang ulung. Atau, mungkin juga dia bajingan yang serendah-rendahnya. Yang pasti, semasih ada penjara, dia akan tetap ditempati oleh orang yang menyunggi perkara di atas kepalanya.
Bagi orang yang menanggung dosa, baik itu pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penjara adalah tempat yang layak menurut kebanyakan orang. Namun, bagaimana dengan tawanan, terlebih lagi tawanan perang? Terlebih lagi, keadaan setan ini didapat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, kebebasan. Tawanan semacam ini harus dilemaskan oleh siksaan, siksaan dalam segala bentuk dan macam. Mereka harus mengakui dosanya. Dosa siapa? Orang tak ada yang tahu dengan sesungguhnya. Gelombang revolusi memang hebat. Akan tetapi, segala dosa yang terkandung di dalamnya bukan dosa satu atau dua orang. Orang-orang yang jadi korban seorang demi seorang dipaksa mengakui dosa. Kemudian, kalau mereka itu mengaku, mereka diikat dan ditembusi beberapa peluru buatan pabrik besar yang khusus diciptakan untuk melumpuhkan sesamanya. Koran-koran pada saat itu boleh berteriak tentang kemerdekaan yang merdeka dan kedaulatan yang berdaulat. Namun, jauh-jauh di suatu tempat orang menanggung. Persoalannya sekarang adalah siapa sesungguhnya yang berdosa. Bagi tawanan perang sudah jelas: Belanda! Mereka tahu betul alasannya. Bumi ini bukan buminya, tetapi dialah yang mengaku sebagai pemiliknya. Rakyat ini bukan miliknya, tetapi dialah yang memaksannya jadi hambanya. Hanya perasaan sebagai seorang Indonesialah yang menjadikan mereka kuat oleh kurungan seperti itu. Perasaan itu pula yang akhirnya mengendapkan segala pikiran: perasaan yang memoga-mogakan keruntuhan kerajaan Belanda. Ya, terasa bahwa penjara memberi pelajaran pada mereka untuk mencintai tanah air, tanah air sendiri. Cinta itu menjadi lebih padat bila tanah air itu ada dalam cengkraman kekuasaan asing.
Lama-kelamaan, orang-orang yang dapat kita sebut “mereka yang dilumpuhkan” jadi biasa dengan keadaan yang dipaksakan pada dirinya. Malam-malam yang perlahan datangnya tak terasa lagi lambatnya. Pikiran yang beterbangan mencari pegangan akhirnya mendapat pegangan juga: menyerah. Kata menyerah itu mengandung suatu kekuatan besar untuk orang yang menjalaninya. Keinginan-keinginan yang banyak dan bermacam-macam dengan tiada terasa mulai hilang satu demi satu. Barang siapa yang tidak juga bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang dipaksakan kepadanya, dia akan menyiksa diri sendiri, siksa yang tiada berguna, juga tak berguna untuk orang lain.
Penjara, terutama bagi para tawanan akan membuat mereka mengerti: kebebasan sungguh sesuatu yang mahakuasa di dunia ini. Cobalah, engkau boleh main-main di tepi laut. Engkau bisa pergi berjalan-jalan ke sawah sesuka hati. Engkau bisa menentukan hari untuk pergi bertamasya sekehendak hati. Bagi orang yang masih direstui kebebasan, keadaan seperti itu gampang sekali dapat dicapai, diraih oleh kekuatannya. Sebaliknya, orang-orang tawanan di satu sisi mengucurkan keringatnya membabati lalang, menyadap getah, memecahi batu dan pekerjaan kasar lainnya. Yang lebih penting lagi, mereka bukan bekerja keras atas kemauannya, juga bukan dengan kesenangan hatinya, juga bukan untuk keperluan hidupnya. Mereka bekerja hanya untuk kepentingan orang lain. Mereka sendiri mendapat makan untuk hidup terus agar dapat disiksa perlahan-lahan tiap hari. Tidak jarang, di antara para tawanan itu sengaja disiksa dan dibunuh. Mereka ini bekerja saja, kesakitan saja untuk menunggu peluru menembus dirinya dengan tiada sempat menyesali untung diri. Dalam hal ini, tawanan pun merasai sakit hati. Tawanan pun manusia yang masih punya perasaan sakit. Hal ini kerap dilupakan oleh orang yang menang, orang yang menawan. Namun, apa hendak dikata, siapa lemah memang selalu terjajah oleh nafsu dari luar dan dari dalam.
Di antara mereka yang dilumpuhkan, hanya ada kayu, batu, arang, paksaan masyarakat dan kerja paksa sebagai tawanan. Antara mereka hanya ada kehinaan, kehinaan sebagai hamba. Siapa pun jua tak bisa membantahnya. Mereka berbuat dan bergerak, dibuat dan digerakkan oleh kekalahan, kekalahan besar. Mereka dikalahkan oleh tubuh-tubuh yang hidup juga seperti mereka. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang, orang tak sempat lagi memikirkan keluarganya atau hari depannya. Hanya kadang-kadang saja orang mengenangkan kebebasannya. Namun, tak seorangpun di antara mereka mengerti kapan kebebasan yang bermain-main dalam kepalanya itu jadi kenyataan. Di saat-saat orang mengenangkan kebebasannya, orang jadi berpikir bahwa sesungguhnya belantara Belandalah malaikat yang mahakuasa yang punya hak atas bebas tidaknya diri mereka itu.
Manusia mempunyai alam cita. Karena itulah dia bukan binatang, kata orang. Dalam alam cita ini, tak ada perbedaan antara aku, dia, mereka, tawanan dan penawan punyai. Kalau berbeda, hanyalah bentuknya saja. Kemerdekaan bangsa, bangunnya pemerintahan nasional yang baru saja merenggutkan diri dari penjajahan, dan revolusi sekalipun, hanyalah alat untuk menuju pada pelaksanaan alam cita itu. Semua benda di dunia ini hanyalah alat untuk melaksanakan alam cita. Badan manusia pun alat. Kemerdekaan dan revolusi hanya alat, alat supaya manusia memperjuangkan diri agar bisa lebih bebas mempergunakan hidupnya sendiri, walaupun sebetulnya manusia pada alamnya sudah tak bebas. Manusia terikat pada hawa, pada tanah, pada berat badannya sendiri, pada nasi, pada air. Manusia adalah binatang cancangan alam besar, dan orang sakit adalah orang yang kemerdekaannya dirampas oleh alam. Namun, dia harus bebas, bebas dari paksaan masyarakat yang tak perlu memaksa. Masyarakat yang memaksa-maksa mereka adalah orang asing, sekelompok orang yang mencari modal untuk kesenangannya sendiri. Tawanan tak ubahnya seperti mesin pembuat rokok untuknya, untuk kemakmurannya sendiri.
Melihat betapa kejamnya sebuah paksaan dan penawanan, layaklah kita benci pada manusia, makhluk yang sombong ini. Kita mesti benci pada manusia, manusia yang mengakui dirinya lebih tinggi daripada angin, daripada langit, laut dan jagat raya. Kita sekali lagi layak membenci tubuh-tubuh manusia, yang putih, hitam, coklat, albino, dan yang mana saja. Tubuh itu telah mengungkung banyak kemerdekaan. Tubuh-tubuh ini memaksa adanya penderitaan. Tubuh ini merencanakan perampokan dan pembunuhan dengan hasil penindasan guna merampoki tubuh-tubuh yang sudah ditindasnya. Namun, kita bertubuh juga. Kita berbadan juga. Karena itu, kita menderita. Yang menang perang juga menderita, terlebih lagi yang kalah. Para tawanan termasuk orang yang kalah.
Bebas! Mereka rindu kebebasan. Kebebasan adalah lagu yang merdu yang kini bagi mereka tak bisa diraih dengan tangan lagi, hanya bisa diraba dengan kenangan. Kemudian, kebebasan itu berubah menjadi barang yang mengagumkan. Demikianlah kerinduan tawanan yang tidak memiliki kejelasan masa depan pada kebebasan. Lambat-lambat tapi pasti, terbentuklah dalam jiwa-jiwa mereka sebuah pemujaan dan penghargaan terhadap kebebasan: dan terbentuklah pula kesadaran bahwa kebebasan yang dahulu dimiliki itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya, bahkan disia-siakan!
Mereka ingin bebas. Mereka ingin merdeka. Hampir gila rasanya menderita dalam kungkungan seperti itu. Penderitaan seperti itu sangat pantas dilampiaskan pada kebangsaan. Kebangsaan inilah yang membuat batas antara gerombolan manusia yang satu dengan gerombolan manusia yang lain. Kebangsaan ini yang membuat keangkaraan diberi kekuatan raksasa dan senjata. Oleh kebangsaan ini pula ada orang yang harus ditawan. Alangkah baiknya kalau bangsa tidak ada di dunia ini.
Kerinduan pada kebebasan adalah satu kemestian yang ada dalam jiwa tawanan. Sungguh, kadang malu orang mengakuinya. Akan tetapi, dengan diam-diam, kerinduan itu sendiri berdansa-dansa di dalam jiwa dan memberi kesadaran: kebebasan diri adalah senjata pertama untuk merampas cita di depan mata. Sungguh, hal itu adalah kepentingan diri sendiri. Justru, karena kepentingan diri itulah orang-orang mempertahankan hidupnya masing-masing.
Ketika kata “bebas” itu mulai mendekati mereka, harapan, kecemasan, keriangan, kegugupan dan kembimbangan merajalela dalam diri tiap manusia dalam kurungan itu. Sekalipun para tawanan itu bisa menasehati dirinya dengan perkataan “jangan percaya pada janji Belanda”, tapi di saat-saat seperti itu, orang tak bisa mempertahankan dirinya dari kekacauan dalam diri sendiri.
O, kebebasan yang mahakuasa. Tak adalah rasanya sesuatu yang lebih mahakuasa daripada kebebasan. Kita kadang merasai bahwa kita semua budak. Kita semua ini binatang cancangan sejak lahirnya, apalagi bagi para tawanan yang buta akan kebebasannya itu. Akan tetapi, kita pasti merasakan kebesaran kata kebebasan itu.
oleh: Angga


Kamis, 19 Mei 2016

KEKUATAN TRADISI DAN BUDAYA DI TENGAH PERKEMBANGAN GLOBAL

Kumpulan Cerpen Padi Dumadi
karya: Made Adnyana Ole

Padi Dumadi merupakan sebuah buku kumpulan cerpen karya Adnyana Ole, wartawan Bali Post. Buku ini terdiri dari delapan cerpen yang sebagian besar mengambil tema-tema tradisi, budaya, mitos dan pertanian yang ada di Bali. Dalam buku ini, penulis ingin mengkritisi sebuah perubahan tradisi dan budaya serta kehidupan yang terjadi di Bali saat ini. Hal ini seperti yang terlihat pada salah satu yang berjudul “Istriku Bernama Sri”.
Cerpen Istriku Bernama Sri berusaha mengangkat fenomena yang terjadi di Bali akhir-akhir ini. penulis menyuarakan sikapnya tentang berkurangnya persawahan di Bali saat ini. Hal ini disisipkan dalam sebuah cerita tentang seorang pengusaha sukses yang dipusingkan oleh kemunculan sawah di halaman rumahnya. Sawah itu membuat hidupnya kacau. Namun, tidak demikian dengan istrinya, Sri. Ia bersikeras bahwa ia sengaja menciptakan sawah itu karena sawah-sawah telah hilang. Hal ini membuat semua orang bertanya-tanya siapa sebenarnya Sri itu. Hal ini pula membuat orang-orang memujanya dan mengilhami nama Sri itu sebagai nama istri semua orang.
Fenomena tentang petani dan pertanian pada masa kini juga terselip dalam cerpen “Ah, Cuma Lelucon Kecil” yang bercerita tentang seorang petani kaya yang dipecat bosnya karena kekayaannya menyaingi kekayaan bosnya. Cerita ini berusaha mengajak kita untuk menyadari bahwa pandangan masyarakat masa kini telah berubah. Petani tidak mungkin menjadi kaya raya. Walaupun ia kaya, levelnya tetap rendah di masyarakat. Hal ini bisa kita lihat bahwa masyarakat bali saat ini cenderung tidak membiarkan anaknya menjadi petani. Masyarakat sekarang malah ingin anak-anak mereka menjadi seorang guru atau PNS dan cara sukses lainnya yang terlihat lebih terhormat menurut mereka.
Selain dua tema itu, kebanyakan cerpen pada buku ini berusaha mengkritisi kekuatan sebuah kepercayaan turun temurun menghadapi perkembangan global saat ini. Penulis seperti ingin mengingatkan kita akan pentingnya sebuah kepercayaan dan tradisi. Namun, ia juga berusaha mengingatkan perubahan yang akan terjadi pada kepercayaan tersebut. Hal inilah yang disampaikan dalam beberapa cerpen dalam buku ini, seperti Padi Dumadi; Capung Hantu, Dayu Bulan dan lain-lain...; Pohon Pedang Kayu; dan Rahasia Gambuh.
Dalam cerpen Padi Dumadi, kepercayaan turun temurun tentang asal muasal padi harus berubah ketika hilangnya keyakinan seorang kakek, Nang Oman Pugur tentang asal muasal padi di desanya. Ia dulu mendapatkan jawaban bahwa benih padi berasal dari kakeknya. Hal ini dikarenakan sejarah padi di desa itu yang disebarkan dari benih hasil panen padi yang ditanam di kuburan kakek Nang Oman Pugur untuk membayar hutangnya yang telah meninggalkan sawahnya selama dua puluh tahun. Ternyata padi itu menjadi padi bibit unggul dan tersebar ke seluruh sawah di daerah itu. Namun, ketika cucu Nang Oman Pugur menanyakan hal yang sama kepada dirinya, ia pun hanya berani menjawab bahwa benih berasal dari Tuhan. Tuhan adalah jawaban yang paling aman untuk semua pertanyaan. Demikianlah sebuah mitos dan kepercayaan harus kehilangan “Taksu”-nya karena perkembangan zaman dan pengetahuan.
Tema yang sama juga dapat ditemukan pada cerpen “Pohon Pedang Kayu” dan “Capung Hantu, Dayu Bulan dan lain-lain....”. Kedua cerpen ini juga berkisah tentang mengkritisi kepercayaan turun-temurun hingga tuahnya yang menjadi hilang. Kedua cerpen iini memiliki persamaan, yaitu seorang anak yang ingin mencari jawaban atau alasan tentang kepercayaan turun-temurun  yang diceritakan kepadanya. Dalam cerpen “Pohon Pedang Kayu”, seorang anak merasa bersalah seumur hidup karena rasa penasarannya terhadap sebuah pot kuno yang dipercaya memiliki tuah yang sangat dahsyat. Namun, tuah itu tiba-tiba hilang karena pot itu dibongkar oleh anak itu untuk mengetahui kebenaran pohon mistis yang tumbuh di dalamnya. Selanjutnya, dalam cerpen “Capung Hantu, Dayu Bulan dan lain-lain...”, seorang anak menghilang untuk mencari tahu hilangnya “Capung Hantu” dan mitosnya yang dulu begitu membuatnya takut sekaligus penasaran. Dari ringkasan cerita itu, dapat kita lihat bahwa kedua cerpen ini ingin menyadarkan kita bahwa saat ini, mitos-mitos dan kepercayaan telah banyak yang hilang sehingga budaya mulai semakin kehilangan “Taksu”.
Cerpen “Rahasia Gambuh” lain lagi. Cerpen ini ingin mengingatkan kita bahwa betapa pun buruknya tokoh antagonis, ia tetaplah penting dalam sebuah cerita. Hal ini ditunjukkan dengan pementasan gambuh yang setiap penampilannya tokoh Rahwana yang tidak pernah mati. Hal ini membuat orang bertanya-tanya hingga akhirnya membuat sang penari dibunuh karena dianggap mengubah cerita Ramayana. Namun, walaupun sang penari mati, cerita itu tetap hidup demikian. Rahwana dalam pementasan gambuh selalu tidak mati siapupun yang menarikannya.
Cerita tentang kepercayaan juga terselip dalam dua cerpen lainnya, yaitu cerpen “Anak-anak Hilang di Kota Kecil itu...” dan “Pawang Tikus”. Kedua cerpen itu juga menggunakan kepercayaan turun temurun sebagai inti yang disampaikan penulis. Dapat dikatakan, kumpulan cerpen Padi Dumadi ingin mengingatkan kita akan kekuatan sebuah kepercayaan dan tradisi yang telah hidup di masyarakat, khususnya di Bali. Penulis ingin menyampaikan kepada kita bahwa mitos dan kepercayaan amat penting bagi masyarakat Bali. Dari cerpen-cerpen itu, kita seolah diajak menyadari bahwa hilangnya taksu pulau Bali karena hilangnya kepercayaan kita dan mitos-mitos yang mengiringi kehidupan masyarakat di Bali sejak zaman dahulu. Cerpen-cerpen ini juga berusaha mengingatkan kita tentang pentingnya pertanian bagi kehidupan masyarakat di Bali dan pertanian itu kini dapat dikatakan hampir menghilang. Siapa yang akan menjaganya jika bukan generasi kita saat ini?
                                                                                                  Penulis: Angga