Sabtu, 21 Mei 2016

Kebebasan yang Mahakuasa

Judul Buku         :   Mereka yang Dilumpuhkan (Edisi Baru: Jilid I & II)
Pengarang          :   Pramoedia Ananta Toer
Penerbit            :   Hasta Mitra
Tahun Terbit     :   2002
Jumlah Halaman :   560 Halaman
Penjara, sungguh mengerikannya tempat itu. Kalau engkau binatang dan dikurung di sana untuk pertama kali, engkau akan menumbuki pagar kurunganmu hingga badanmu luka-luka. Setelah engkau kelelahan, engkau pun akhirnya akan terdiam oleh putus asa.
Penjara bisa disamakan dengan hotel. Suatu kali orang datang. Suatu kali orang pergi meninggalkannya. Bedanya, di hotel orang harus membayar, boleh meninggalkannya semau hati. Sebaliknya, di penjara orang tidak membayar dan tidak boleh meninggalkannya semau hati. Kotak kurungan ini telah didatangi, ditinggali dan ditinggalkan oleh berbagai macam orang. Mungkin dia pejuang kemanusiaan yang besar. Mungkin juga dia pendekar politik yang ulung. Atau, mungkin juga dia bajingan yang serendah-rendahnya. Yang pasti, semasih ada penjara, dia akan tetap ditempati oleh orang yang menyunggi perkara di atas kepalanya.
Bagi orang yang menanggung dosa, baik itu pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penjara adalah tempat yang layak menurut kebanyakan orang. Namun, bagaimana dengan tawanan, terlebih lagi tawanan perang? Terlebih lagi, keadaan setan ini didapat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, kebebasan. Tawanan semacam ini harus dilemaskan oleh siksaan, siksaan dalam segala bentuk dan macam. Mereka harus mengakui dosanya. Dosa siapa? Orang tak ada yang tahu dengan sesungguhnya. Gelombang revolusi memang hebat. Akan tetapi, segala dosa yang terkandung di dalamnya bukan dosa satu atau dua orang. Orang-orang yang jadi korban seorang demi seorang dipaksa mengakui dosa. Kemudian, kalau mereka itu mengaku, mereka diikat dan ditembusi beberapa peluru buatan pabrik besar yang khusus diciptakan untuk melumpuhkan sesamanya. Koran-koran pada saat itu boleh berteriak tentang kemerdekaan yang merdeka dan kedaulatan yang berdaulat. Namun, jauh-jauh di suatu tempat orang menanggung. Persoalannya sekarang adalah siapa sesungguhnya yang berdosa. Bagi tawanan perang sudah jelas: Belanda! Mereka tahu betul alasannya. Bumi ini bukan buminya, tetapi dialah yang mengaku sebagai pemiliknya. Rakyat ini bukan miliknya, tetapi dialah yang memaksannya jadi hambanya. Hanya perasaan sebagai seorang Indonesialah yang menjadikan mereka kuat oleh kurungan seperti itu. Perasaan itu pula yang akhirnya mengendapkan segala pikiran: perasaan yang memoga-mogakan keruntuhan kerajaan Belanda. Ya, terasa bahwa penjara memberi pelajaran pada mereka untuk mencintai tanah air, tanah air sendiri. Cinta itu menjadi lebih padat bila tanah air itu ada dalam cengkraman kekuasaan asing.
Lama-kelamaan, orang-orang yang dapat kita sebut “mereka yang dilumpuhkan” jadi biasa dengan keadaan yang dipaksakan pada dirinya. Malam-malam yang perlahan datangnya tak terasa lagi lambatnya. Pikiran yang beterbangan mencari pegangan akhirnya mendapat pegangan juga: menyerah. Kata menyerah itu mengandung suatu kekuatan besar untuk orang yang menjalaninya. Keinginan-keinginan yang banyak dan bermacam-macam dengan tiada terasa mulai hilang satu demi satu. Barang siapa yang tidak juga bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang dipaksakan kepadanya, dia akan menyiksa diri sendiri, siksa yang tiada berguna, juga tak berguna untuk orang lain.
Penjara, terutama bagi para tawanan akan membuat mereka mengerti: kebebasan sungguh sesuatu yang mahakuasa di dunia ini. Cobalah, engkau boleh main-main di tepi laut. Engkau bisa pergi berjalan-jalan ke sawah sesuka hati. Engkau bisa menentukan hari untuk pergi bertamasya sekehendak hati. Bagi orang yang masih direstui kebebasan, keadaan seperti itu gampang sekali dapat dicapai, diraih oleh kekuatannya. Sebaliknya, orang-orang tawanan di satu sisi mengucurkan keringatnya membabati lalang, menyadap getah, memecahi batu dan pekerjaan kasar lainnya. Yang lebih penting lagi, mereka bukan bekerja keras atas kemauannya, juga bukan dengan kesenangan hatinya, juga bukan untuk keperluan hidupnya. Mereka bekerja hanya untuk kepentingan orang lain. Mereka sendiri mendapat makan untuk hidup terus agar dapat disiksa perlahan-lahan tiap hari. Tidak jarang, di antara para tawanan itu sengaja disiksa dan dibunuh. Mereka ini bekerja saja, kesakitan saja untuk menunggu peluru menembus dirinya dengan tiada sempat menyesali untung diri. Dalam hal ini, tawanan pun merasai sakit hati. Tawanan pun manusia yang masih punya perasaan sakit. Hal ini kerap dilupakan oleh orang yang menang, orang yang menawan. Namun, apa hendak dikata, siapa lemah memang selalu terjajah oleh nafsu dari luar dan dari dalam.
Di antara mereka yang dilumpuhkan, hanya ada kayu, batu, arang, paksaan masyarakat dan kerja paksa sebagai tawanan. Antara mereka hanya ada kehinaan, kehinaan sebagai hamba. Siapa pun jua tak bisa membantahnya. Mereka berbuat dan bergerak, dibuat dan digerakkan oleh kekalahan, kekalahan besar. Mereka dikalahkan oleh tubuh-tubuh yang hidup juga seperti mereka. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang, orang tak sempat lagi memikirkan keluarganya atau hari depannya. Hanya kadang-kadang saja orang mengenangkan kebebasannya. Namun, tak seorangpun di antara mereka mengerti kapan kebebasan yang bermain-main dalam kepalanya itu jadi kenyataan. Di saat-saat orang mengenangkan kebebasannya, orang jadi berpikir bahwa sesungguhnya belantara Belandalah malaikat yang mahakuasa yang punya hak atas bebas tidaknya diri mereka itu.
Manusia mempunyai alam cita. Karena itulah dia bukan binatang, kata orang. Dalam alam cita ini, tak ada perbedaan antara aku, dia, mereka, tawanan dan penawan punyai. Kalau berbeda, hanyalah bentuknya saja. Kemerdekaan bangsa, bangunnya pemerintahan nasional yang baru saja merenggutkan diri dari penjajahan, dan revolusi sekalipun, hanyalah alat untuk menuju pada pelaksanaan alam cita itu. Semua benda di dunia ini hanyalah alat untuk melaksanakan alam cita. Badan manusia pun alat. Kemerdekaan dan revolusi hanya alat, alat supaya manusia memperjuangkan diri agar bisa lebih bebas mempergunakan hidupnya sendiri, walaupun sebetulnya manusia pada alamnya sudah tak bebas. Manusia terikat pada hawa, pada tanah, pada berat badannya sendiri, pada nasi, pada air. Manusia adalah binatang cancangan alam besar, dan orang sakit adalah orang yang kemerdekaannya dirampas oleh alam. Namun, dia harus bebas, bebas dari paksaan masyarakat yang tak perlu memaksa. Masyarakat yang memaksa-maksa mereka adalah orang asing, sekelompok orang yang mencari modal untuk kesenangannya sendiri. Tawanan tak ubahnya seperti mesin pembuat rokok untuknya, untuk kemakmurannya sendiri.
Melihat betapa kejamnya sebuah paksaan dan penawanan, layaklah kita benci pada manusia, makhluk yang sombong ini. Kita mesti benci pada manusia, manusia yang mengakui dirinya lebih tinggi daripada angin, daripada langit, laut dan jagat raya. Kita sekali lagi layak membenci tubuh-tubuh manusia, yang putih, hitam, coklat, albino, dan yang mana saja. Tubuh itu telah mengungkung banyak kemerdekaan. Tubuh-tubuh ini memaksa adanya penderitaan. Tubuh ini merencanakan perampokan dan pembunuhan dengan hasil penindasan guna merampoki tubuh-tubuh yang sudah ditindasnya. Namun, kita bertubuh juga. Kita berbadan juga. Karena itu, kita menderita. Yang menang perang juga menderita, terlebih lagi yang kalah. Para tawanan termasuk orang yang kalah.
Bebas! Mereka rindu kebebasan. Kebebasan adalah lagu yang merdu yang kini bagi mereka tak bisa diraih dengan tangan lagi, hanya bisa diraba dengan kenangan. Kemudian, kebebasan itu berubah menjadi barang yang mengagumkan. Demikianlah kerinduan tawanan yang tidak memiliki kejelasan masa depan pada kebebasan. Lambat-lambat tapi pasti, terbentuklah dalam jiwa-jiwa mereka sebuah pemujaan dan penghargaan terhadap kebebasan: dan terbentuklah pula kesadaran bahwa kebebasan yang dahulu dimiliki itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya, bahkan disia-siakan!
Mereka ingin bebas. Mereka ingin merdeka. Hampir gila rasanya menderita dalam kungkungan seperti itu. Penderitaan seperti itu sangat pantas dilampiaskan pada kebangsaan. Kebangsaan inilah yang membuat batas antara gerombolan manusia yang satu dengan gerombolan manusia yang lain. Kebangsaan ini yang membuat keangkaraan diberi kekuatan raksasa dan senjata. Oleh kebangsaan ini pula ada orang yang harus ditawan. Alangkah baiknya kalau bangsa tidak ada di dunia ini.
Kerinduan pada kebebasan adalah satu kemestian yang ada dalam jiwa tawanan. Sungguh, kadang malu orang mengakuinya. Akan tetapi, dengan diam-diam, kerinduan itu sendiri berdansa-dansa di dalam jiwa dan memberi kesadaran: kebebasan diri adalah senjata pertama untuk merampas cita di depan mata. Sungguh, hal itu adalah kepentingan diri sendiri. Justru, karena kepentingan diri itulah orang-orang mempertahankan hidupnya masing-masing.
Ketika kata “bebas” itu mulai mendekati mereka, harapan, kecemasan, keriangan, kegugupan dan kembimbangan merajalela dalam diri tiap manusia dalam kurungan itu. Sekalipun para tawanan itu bisa menasehati dirinya dengan perkataan “jangan percaya pada janji Belanda”, tapi di saat-saat seperti itu, orang tak bisa mempertahankan dirinya dari kekacauan dalam diri sendiri.
O, kebebasan yang mahakuasa. Tak adalah rasanya sesuatu yang lebih mahakuasa daripada kebebasan. Kita kadang merasai bahwa kita semua budak. Kita semua ini binatang cancangan sejak lahirnya, apalagi bagi para tawanan yang buta akan kebebasannya itu. Akan tetapi, kita pasti merasakan kebesaran kata kebebasan itu.
oleh: Angga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar