Judul
Buku : Mereka yang Dilumpuhkan (Edisi Baru: Jilid I & II)
Pengarang : Pramoedia
Ananta Toer
Penerbit : Hasta
Mitra
Tahun
Terbit : 2002
Jumlah Halaman : 560
Halaman
Penjara,
sungguh mengerikannya tempat itu. Kalau engkau binatang dan dikurung di sana untuk pertama kali,
engkau akan menumbuki pagar kurunganmu hingga badanmu luka-luka. Setelah engkau
kelelahan, engkau pun akhirnya akan terdiam oleh putus asa.
Penjara bisa
disamakan dengan hotel. Suatu kali orang datang. Suatu kali orang pergi
meninggalkannya. Bedanya, di hotel orang harus membayar, boleh meninggalkannya
semau hati. Sebaliknya, di penjara orang tidak membayar dan tidak boleh
meninggalkannya semau hati. Kotak kurungan ini telah didatangi, ditinggali dan
ditinggalkan oleh berbagai macam orang. Mungkin dia pejuang kemanusiaan yang
besar. Mungkin juga dia pendekar politik yang ulung. Atau, mungkin juga dia bajingan
yang serendah-rendahnya. Yang pasti, semasih ada penjara, dia akan tetap
ditempati oleh orang yang menyunggi perkara di atas kepalanya.
Bagi orang
yang menanggung dosa, baik itu pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penjara
adalah tempat yang layak menurut kebanyakan orang. Namun, bagaimana dengan
tawanan, terlebih lagi tawanan perang? Terlebih lagi, keadaan setan ini didapat
setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, kebebasan. Tawanan semacam ini harus dilemaskan
oleh siksaan, siksaan dalam segala bentuk dan macam. Mereka harus mengakui
dosanya. Dosa siapa? Orang tak ada yang tahu dengan sesungguhnya. Gelombang
revolusi memang hebat. Akan tetapi, segala dosa yang terkandung di dalamnya
bukan dosa satu atau dua orang. Orang-orang yang jadi korban seorang demi
seorang dipaksa mengakui dosa. Kemudian, kalau mereka itu mengaku, mereka diikat
dan ditembusi beberapa peluru buatan pabrik besar yang khusus diciptakan untuk
melumpuhkan sesamanya. Koran-koran pada saat itu boleh berteriak tentang
kemerdekaan yang merdeka dan kedaulatan yang berdaulat. Namun, jauh-jauh di suatu
tempat orang menanggung. Persoalannya sekarang adalah siapa sesungguhnya yang
berdosa. Bagi tawanan perang sudah jelas: Belanda! Mereka tahu betul alasannya.
Bumi ini bukan buminya, tetapi dialah yang mengaku sebagai pemiliknya. Rakyat
ini bukan miliknya, tetapi dialah yang memaksannya jadi hambanya. Hanya perasaan
sebagai seorang Indonesialah yang menjadikan mereka kuat oleh kurungan seperti
itu. Perasaan itu pula yang akhirnya mengendapkan segala pikiran: perasaan yang
memoga-mogakan keruntuhan kerajaan Belanda. Ya, terasa bahwa penjara memberi pelajaran
pada mereka untuk mencintai tanah air, tanah air sendiri. Cinta itu menjadi
lebih padat bila tanah air itu ada dalam cengkraman kekuasaan asing.
Lama-kelamaan,
orang-orang yang dapat kita sebut “mereka yang dilumpuhkan” jadi biasa dengan
keadaan yang dipaksakan pada dirinya. Malam-malam yang perlahan datangnya tak
terasa lagi lambatnya. Pikiran yang beterbangan mencari pegangan akhirnya
mendapat pegangan juga: menyerah. Kata menyerah itu mengandung suatu kekuatan
besar untuk orang yang menjalaninya. Keinginan-keinginan yang banyak dan
bermacam-macam dengan tiada terasa mulai hilang satu demi satu. Barang siapa yang
tidak juga bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang dipaksakan kepadanya, dia
akan menyiksa diri sendiri, siksa yang tiada berguna, juga tak berguna untuk
orang lain.
Penjara,
terutama bagi para tawanan akan membuat mereka mengerti: kebebasan sungguh
sesuatu yang mahakuasa di dunia ini. Cobalah, engkau boleh main-main di tepi
laut. Engkau bisa pergi berjalan-jalan ke sawah sesuka hati. Engkau bisa
menentukan hari untuk pergi bertamasya sekehendak hati. Bagi orang yang masih
direstui kebebasan, keadaan seperti itu gampang sekali dapat dicapai, diraih
oleh kekuatannya. Sebaliknya, orang-orang tawanan di satu sisi mengucurkan
keringatnya membabati lalang, menyadap getah, memecahi batu dan pekerjaan kasar
lainnya. Yang lebih penting lagi, mereka bukan bekerja keras atas kemauannya, juga
bukan dengan kesenangan hatinya, juga bukan untuk keperluan hidupnya. Mereka
bekerja hanya untuk kepentingan orang lain. Mereka sendiri mendapat makan untuk
hidup terus agar dapat disiksa perlahan-lahan tiap hari. Tidak jarang, di
antara para tawanan itu sengaja disiksa dan dibunuh. Mereka ini bekerja saja,
kesakitan saja untuk menunggu peluru menembus dirinya dengan tiada sempat
menyesali untung diri. Dalam hal ini, tawanan pun merasai sakit hati. Tawanan
pun manusia yang masih punya perasaan sakit. Hal ini kerap dilupakan oleh orang
yang menang, orang yang menawan. Namun, apa hendak dikata, siapa lemah memang selalu
terjajah oleh nafsu dari luar dan dari dalam.
Di antara
mereka yang dilumpuhkan, hanya ada kayu, batu, arang, paksaan masyarakat dan
kerja paksa sebagai tawanan. Antara mereka hanya ada kehinaan, kehinaan sebagai
hamba. Siapa pun jua tak bisa membantahnya. Mereka berbuat dan bergerak, dibuat
dan digerakkan oleh kekalahan, kekalahan besar. Mereka dikalahkan oleh
tubuh-tubuh yang hidup juga seperti mereka. Dalam keadaan seperti itu,
kadang-kadang, orang tak sempat lagi memikirkan keluarganya atau hari depannya.
Hanya kadang-kadang saja orang mengenangkan kebebasannya. Namun, tak seorangpun
di antara mereka mengerti kapan kebebasan yang bermain-main dalam kepalanya itu
jadi kenyataan. Di saat-saat orang mengenangkan kebebasannya, orang jadi
berpikir bahwa sesungguhnya belantara Belandalah malaikat yang mahakuasa yang
punya hak atas bebas tidaknya diri mereka itu.
Manusia
mempunyai alam cita. Karena itulah dia bukan binatang, kata orang. Dalam alam
cita ini, tak ada perbedaan antara aku, dia, mereka, tawanan dan penawan punyai.
Kalau berbeda, hanyalah bentuknya saja. Kemerdekaan bangsa, bangunnya
pemerintahan nasional yang baru saja merenggutkan diri dari penjajahan, dan
revolusi sekalipun, hanyalah alat untuk menuju pada pelaksanaan alam cita itu.
Semua benda di dunia ini hanyalah alat untuk melaksanakan alam cita. Badan
manusia pun alat. Kemerdekaan dan revolusi hanya alat, alat supaya manusia
memperjuangkan diri agar bisa lebih bebas mempergunakan hidupnya sendiri,
walaupun sebetulnya manusia pada alamnya sudah tak bebas. Manusia terikat pada
hawa, pada tanah, pada berat badannya sendiri, pada nasi, pada air. Manusia
adalah binatang cancangan alam besar, dan orang sakit adalah orang yang
kemerdekaannya dirampas oleh alam. Namun, dia harus bebas, bebas dari paksaan
masyarakat yang tak perlu memaksa. Masyarakat yang memaksa-maksa mereka adalah
orang asing, sekelompok orang yang mencari modal untuk kesenangannya sendiri. Tawanan
tak ubahnya seperti mesin pembuat rokok untuknya, untuk kemakmurannya sendiri.
Melihat
betapa kejamnya sebuah paksaan dan penawanan, layaklah kita benci pada manusia,
makhluk yang sombong ini. Kita mesti benci pada manusia, manusia yang mengakui
dirinya lebih tinggi daripada angin, daripada langit, laut dan jagat raya. Kita
sekali lagi layak membenci tubuh-tubuh manusia, yang putih, hitam, coklat,
albino, dan yang mana saja. Tubuh itu telah mengungkung banyak kemerdekaan.
Tubuh-tubuh ini memaksa adanya penderitaan. Tubuh ini merencanakan perampokan
dan pembunuhan dengan hasil penindasan guna merampoki tubuh-tubuh yang sudah
ditindasnya. Namun, kita bertubuh juga. Kita berbadan juga. Karena itu, kita
menderita. Yang menang perang juga menderita, terlebih lagi yang kalah. Para tawanan termasuk orang yang kalah.
Bebas!
Mereka rindu kebebasan. Kebebasan adalah lagu yang merdu yang kini bagi mereka
tak bisa diraih dengan tangan lagi, hanya bisa diraba dengan kenangan. Kemudian,
kebebasan itu berubah menjadi barang yang mengagumkan. Demikianlah kerinduan tawanan
yang tidak memiliki kejelasan masa depan pada kebebasan. Lambat-lambat tapi
pasti, terbentuklah dalam jiwa-jiwa mereka sebuah pemujaan dan penghargaan
terhadap kebebasan: dan terbentuklah pula kesadaran bahwa kebebasan yang dahulu
dimiliki itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya, bahkan disia-siakan!
Mereka ingin
bebas. Mereka ingin merdeka. Hampir gila rasanya menderita dalam kungkungan
seperti itu. Penderitaan seperti itu sangat pantas dilampiaskan pada
kebangsaan. Kebangsaan inilah yang membuat batas antara gerombolan manusia yang
satu dengan gerombolan manusia yang lain. Kebangsaan ini yang membuat
keangkaraan diberi kekuatan raksasa dan senjata. Oleh kebangsaan ini pula ada
orang yang harus ditawan. Alangkah baiknya kalau bangsa tidak ada di dunia ini.
Kerinduan
pada kebebasan adalah satu kemestian yang ada dalam jiwa tawanan. Sungguh,
kadang malu orang mengakuinya. Akan tetapi, dengan diam-diam, kerinduan itu
sendiri berdansa-dansa di dalam jiwa dan memberi kesadaran: kebebasan diri
adalah senjata pertama untuk merampas cita di depan mata. Sungguh, hal itu
adalah kepentingan diri sendiri. Justru, karena kepentingan diri itulah orang-orang
mempertahankan hidupnya masing-masing.
Ketika kata
“bebas” itu mulai mendekati mereka, harapan, kecemasan, keriangan, kegugupan
dan kembimbangan merajalela dalam diri tiap manusia dalam kurungan itu.
Sekalipun para tawanan itu bisa menasehati dirinya dengan perkataan “jangan
percaya pada janji Belanda”, tapi di saat-saat seperti itu, orang tak bisa
mempertahankan dirinya dari kekacauan dalam diri sendiri.
O, kebebasan
yang mahakuasa. Tak adalah rasanya sesuatu yang lebih mahakuasa daripada
kebebasan. Kita kadang merasai bahwa kita semua budak. Kita semua ini binatang
cancangan sejak lahirnya, apalagi bagi para tawanan yang buta akan kebebasannya
itu. Akan tetapi, kita pasti merasakan kebesaran kata kebebasan itu.
oleh:
Angga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar